Sepuluh tahun
berlalu sejak pertama kali diberlakukannya sistem Ujian Nasional (UN) untuk
jenjang pendidikan dasar dan menengah. Ujian Nasional (UN) pertama kali diadakan
pada tahun ajaran 2002/2003 dengan nama Ujian Akhir Nasional (UAN), menggantikan
sistem yang sama dengan nama Evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas). Ujian
Nasional (UN) merupakan sistem evaluasi standar pendidikan
dasar dan menengah bertaraf nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah
yang dilakukan oleh Pusat
Penilaian Pendidikan, Depdiknas Indonesia
berdasarkan Undang-undang Republik
Indonesia nomor 20 tahun 2003 khususnya pasal 35 tentang Standar
Nasional Pendidikan.
Kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah No 19 Tahun
2005 yang menjelaskan secara rinci tentang standar nasional pendidikan. Salah
satunya adalah standar penilaian pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan
ujian nasional.
Pada peraturan
pemerintah No 19 Tahun 2005 dijelaskan tentang penilaian pendidikan pada
jenjang dasar dan menengah (Pasal 63 ayat 1). Penilaian hasil belajar terdiri
dari penilaian hasil belajar oleh pendidik, penilaian hasil belajar oleh satuan
pendidikan, dan penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Ujian nasional
merupakan bentuk penilaian hasil belajar oleh pemerintah dengan tujuan untuk
menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran
tertentu yang digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu
program dan satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan satuan
pendidikan, dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam
upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan (Pasal 68 PP No 19 Tahun 2005).
Laporan indikator
keberhasilan Ujian Nasional (UN) dinyatakan dalam persentase kuantitatif. Di mana
persentase tersebut merujuk pada batas minimal kelulusan yang sudah ditetapkan.
Persentase kuantitatif tentu dipilih agar laporan yang diberikan dapat lebih
efektif dan efisien, Bukankah angka adalah representasi yang baik dari sebuah
kalimat atau paragraf panjang? Bayangkan jika data yang dikumpulkan dalam
bentuk kualitatif, bukan hanya membutuhkan waktu penyusunan yang lama tetapi
juga mengandung unsur subyektifitas tinggi.
Banyak perubahan
yang menyertai sepuluh tahun pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Salah satunya
standar kelulusan minimal yang ditetapkan. Awal pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
atau yang saat itu bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menetapkan angka
kelulusan 3,01 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan. Angka tersebut
perlahan-lahan meningkat menjadi 4,01 (2003/2004), dan 4,25 (2004/2005). Untuk
tahun 2005/2006 standar kelulusan per mata pelajaran 4,26. Sedangkan nilai
rata-rata dari tiga mata pelajaran ujian nasional harus 4,5. Tahun 2006/2007 nilai rata-rata minimum 5,00 untuk
seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25.
Tahun 2007/2008 nilai
rata-rata minimum menjadi 5,25 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan
tidak ada nilai di bawah 4,25.
Tahun 2008/2009 dan
2009/2010 memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran
yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran
dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Tahun 2010/2011 dan 2011/2012
memiliki nilai rata-rata dari semua nilai akhir minimal 5,50 untuk seluruh mata
pelajaran yang diujikan, dengan nilai akhir minimal 4,00 untuk setiap mata
pelajaran. Nilai akhir didapatkan dari 40 persen akumulasi rata-rata nilai
ujian sekolah dan 60 persen nilai UN.
Selain perubahan
standar kelulusan minimal, mata pelajaran yang diujikan juga mengalami
perubahan. Perubahan terjadi pada Ujian Nasional (UN) tahun 2007/2008, yaitu
penambahan mata pelajaran yang diujikan. Untuk SMA mata pelajaran yang diujikan
dari tiga menjadi enam mata pelajaran dengan tambahan tiga mata pelajaran
karakter jurusan, sedangkan SMP dari tiga menjadi empat mata pelajaran dengan
tambahan mata pelajaran IPA.
Penentuan
kelulusan siswa juga ikut mengalami perubahan. Dari awal pelaksanaan Ujian Nasional
(UN) hingga tahun 2010, kelulusan siswa hanya ditentukan berdasarkan nilai
Ujian Nasional (UN). Akan tetapi sejak Ujian Nasional (UN) tahun pelajaran
2010/2011 kelulusan siswa juga ditentukan oleh nilai rapor dan nilai ujian
sekolah. Yakni 40 persen akumulasi rata-rata nilai rapor dan ujian sekolah serta
60 persen nilai Ujian Nasional (UN).
Seiring dengan
berjalannya pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
disertai perubahan didalamnya, pro-kontra terus saja berlangsung.
Perlukah Ujian Nasional (UN) dilaksanakan?
Adalah pertanyaan wajib dan selalu menjadi topik utama menyambut pelaksanaan Ujian
Nasional (UN) setiap tahun. Pertanyaan yang tiada berujung dan tidak menemukan
titik temu. Sebab masing-masing pihak mengklaim suatu kebenaran dari terlaksana
atau tidaknya Ujian Nasional (UN). Tanpa memikirkan objek pelaksanaan Ujian
Nasional (UN), dalam hal ini siswa sebagai peserta Ujian Nasional (UN). Kebingungan,
kecemasan dan ketakutan menjadi harga yang tak bisa di tawar. Terlebih lagi dengan
pemberitaan yang lebih menempatkan Ujian Nasional (UN) sebagai momok dalam dunia pendidikan.
Pertanyaan-pertanyaan
seperti itu sudah seharusnya dihilangkan, begitu pelaksanaan Ujian Nasional
(UN) menjadi peraturan yang harus dilaksanakan di setiap tingkat pendidikan.
Tanpa terkecuali. Oleh sebab itu, akan lebih baik jika pertanyaan yang
dilontarkan berkonotasi positif. Misalnya, apakah yang bisa saya bantu untuk
mendukung pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang efektif? Dukungan seperti apa
yang dibutuhkan, sehingga Ujian Nasional (UN) benar-benar menjadi gambaran mutu
pendidikan di Indonesia? Bagaimana menyiapkan pelaku pelaksana Ujian Nasional
(UN) yang memiliki tingkat moralitas tinggi?
.
.
Pertanyaan positif
adalah dukungan. Pemberian dukungan akan berimbas pada meningkatnya kepercayaan
diri seluruh elemen pendidikan khususnya siswa dan guru. Sebagai pelaku utama Ujian
Nasional (UN). Kepercayaan tinggi terhadap kemampuan diri sendiri diharapkan
akan menumbuhkan sikap kerja keras untuk meraih keberhasilan dengan cara yang
jujur. Bukankah ini yang kita harapkan? Meningkatnya kualitas pendidikan
Indonesia dalam segi pengetahuan dan moral.
Sedangkan
pertanyaan berkonotasi negatif akan selalu menimbulkan kecemasan, ketakutan,
dan kepercayaan diri yang rendah. Khususnya bagi siswa yang masih dalam taraf
labil dan mudah terpengaruh lingkungan. Usia rata-rata peserta Ujian Nasional
(UN) berkisar antara 10-20 tahun. Pada usia ini rasa khawatir, cemas dan
frustasi mudah terjadi, bahkan hanya dengan masalah sepele. Oleh sebab itu,
sikap lingkungan yang menempatkan Ujian Nasional (UN) sebagai peristiwa penting
yang terkesan sulit, akan membuat siswa panik. Apalagi dengan asumsi siswa yang
tidak lulus adalah siswa yang bodoh. Maka ketakutan siswa akan Ujian Nasional (UN)
semakin menjadi. Bayang-bayang tidak lulus, membuat sebagian siswa rela
menempuh cara yang tidak jujur untuk lulus. Hal ini disebabkan terkikisnya rasa
kepercayaan akan kemampuan dirinya sendiri.
Dalam keadaan normal
mayoritas siswa bisa menyelesaikan soal Ujian Nasional (UN) dengan baik secara
mandiri. Namun mengapa pada saat Ujian Nasional (UN), siswa terkesan minder,
pesimis, dan tergantung pada orang lain. Salah satu penyebabnya adalah bayangan
akan “tidak lulus” dan tertanamnya kata “sulit” untuk soal Ujian Nasional (UN)
pada diri siswa, membuat kepercayaan diri siswa merosot. Siswa lebih
mempercayai orang lain yang dianggapnya lebih bisa, padahal bisa jadi
kemampuannya sama. Akibatnya siswa menjadi tidak mandiri karena mengandalkan
orang lain. Tidak mau berusaha dan bekerja keras untuk mendapatkan hasil
terbaik. Jika demikian, hasil Ujian Nasional (UN) tentu tidak bisa dijadikan
barometer pendidikan di Indonesia.
Lalu, masih
perlukah Ujian Nasional (UN) dilaksanakan? Jawabannya ya. Pelaksanaan Ujian
Nasional (UN) selama kurun waktu sepuluh tahun memang masih jauh dari sempurna,
walaupun beberapa perubahan telah dilakukan. Namun bukan berarti pelaksanaan
Ujian Nasional (UN) kemudian ditiadakan. Ujian Nasional (UN) tetap diperlukan
sebagai bahan evaluasi seluruh elemen pendidikan (pemerintah, sekolah, guru,
dan siswa) terhadap proses pendidikan dan pembelajaran yang telah terjadi.
Bukan hal yang
mudah untuk meningkatkan mutu pendidikan suatu bangsa, apalagi hasil dari suatu
proses pendidikan baru bisa dilihat setelah beberapa tahun kemudian. Tetapi
bukan pula hal yang sulit untuk dilakukan. Hasil terbaik tidak diperoleh dalam
waktu singkat, melainkan melalui proses yang panjang. Jadi, marilah kita
bersama-sama tidak lagi mempertanyakan perlu tidaknya pelaksanaan Ujian
Nasional (UN). Melainkan mendukung secara penuh pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
yang jujur, kondusif dan mampu meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dalam
segi pengetahuan, keterampilan, dan moralitas bangsa. Sehingga nantinya hasil
Ujian Nasional (UN) benar-benar mencerminkan mutu pendidikan di Indonesia.
***
comment 0 komentar
more_vert~~falkhi~~