Setiap hari aku melewati pasar
tradisional. Setiap hari pula aku melihat barisan laki-laki berderet di
sepanjang jalan dan pintu pasar. Dari yang berusia remaja, bapak-bapak hingga
kakek-kakek. Sebagian dari mereka duduk mencangkung sambil merokok. Ada juga
yang mengobrol dengan laki-laki di sebelahnya. Tak jarang pula celingukan
mengawasi setiap sudut pintu pasar, mencari perempuan yang diboncengnya.
Berbeda dengan suasana di dalam
pasar. Setiap mata melihat, pantulan bayangan yang didapatkan hanya kaum hawa.
Hampir tidak ada laki-laki kecuali yang berstatus sebagai penjual atau petugas
pasar.
Sumber : dprd.surabaya.go.id |
Namun ada satu laki-laki yang kemudian membuatku heran. Laki-laki yang celingukan di pasar bukan untuk mencari wanita yang diboncengnya melainkan mencari barang-barang yang ada dalam daftar belanjanya. Laki-laki yang tidak riskan jika harus menjinjing tas belanja dan melakukan tawar-menawar untuk mendapatkan harga terbaik. Laki-laki yang kemudian asyik memilih dan memilah ikan untuk dibelinya.
Laki-laki ini juga tak keberatan mengobrak abrik dapur untuk
memasak. Berkreasi dengan beberapa bahan makanan yang masih terbengkalai. Memotong,
memecah, mengiris, menggoreng, dan mengaduk masakan.
Laki-laki ini membuatku selalu berfikir untuk membandingkannya dengan para laki-laki yang ku temui di sepanjang jalan dan pintu masuk pasar. Laki-laki berbeda. Laki-laki yang mengajarkan bahwa pasar bukan hanya untuk kaum hawa. Memasak dan dapur tidak khusus dibangun untuk istana perempuan. Laki-laki yang kemudian hari, ku kenal dengan nama “Ayah”.
Laki-laki ini membuatku selalu berfikir untuk membandingkannya dengan para laki-laki yang ku temui di sepanjang jalan dan pintu masuk pasar. Laki-laki berbeda. Laki-laki yang mengajarkan bahwa pasar bukan hanya untuk kaum hawa. Memasak dan dapur tidak khusus dibangun untuk istana perempuan. Laki-laki yang kemudian hari, ku kenal dengan nama “Ayah”.
comment 0 komentar
more_vert~~falkhi~~