A. Makna
dan Urgensi Pendidikan Multikultural dalam Penyelenggaraan Pendidikan di
Sekolah
Mengutip
pendapat Hamid Hasan (dalam Yamin, 2009), masyarakat dan bangsa Indonesia
memiliki tingkat keragaman yang tinggi, mulai dari dimensi sosial, budaya,
aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut berpengaruh
langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan
sekolah dalam meyediakan pengalaman belajar, kemampuan anak didik untuk
berproses dalam kegiatan belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang
dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar.
Tanpa adanya
sikap toleransi dan pengakuan terhadap keragaman membuat keragaman dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah acapkali menjadi penyebabnya tidak
harmonisnya komunikasi antar komponen dalam lingkup sekolah. Misalnya konflik
antar anak didik, guru dengan anak didik, ataupun kepala sekolah dengan guru. Jika
demikian proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah akan terhambat dan jauh
dari tujuan pendidikan yang diharapkan.
Salah satu
alternatif dalam meminimalkan konflik akibat keragaman adalah melalui pendidikan
multikultural. Bank (2001) menyatakan pendidikan multikultural adalah rangkaian
kepercayaan dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman
budaya dan etnis di dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas
pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Dengan pendidikan
multikultural diharapkan adanya kesadaran bagi setiap individu untuk memahami
dan menghargai perbedaan, mengurangi prasangka serta mementingkan kehidupan
bersama yang adil.
Sejalan dengan penyampaian Ki Hajar Dewantara (dalam Yamin,
2009) bahwa pendidikan yang menghargai perbedaan dan keberbedaan budaya disetiap
lokalitas tertentu merupakan pendidikan yang sejati dan sesungguhnya. Sehingga perlu
ditingkatkan secara progresif di seluruh lembaga penyelenggara pendidikan dan
satuan pendidikan di Indonesia.
Selain adanya konflik, era globalisasi juga turut memberikan
andil dalam urgensi pendidikan multikultural di sekolah. Globalisasi menyatukan
bangsa-bangsa di dunia menjadi satu masyarakat besar. Pertemuan antar budaya pun
tak dapat terelakkan. Pertemuan antar budaya dapat menjadi sebuah ancaman bagi masyarakat
khususnya generasi muda jika tak diimbangi dengan pemahaman tentang kebudayaan.
Ancaman dapat berupa tercerabutnya generasi muda dari akar budayanya sehingga
kehilangan arah dalam menghadapi tantangan persaingan komunitas global.
Pendidikan multikultural akan membantu generasi muda, dalam
hal ini anak didik untuk mengerti, menerima, menghargai dan melestarikan
kebudayaannya sendiri dalam menghadapi tantangan persaingan globalisasi. Serta
untuk membantu anak didik agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan
yang diperlukan dalam berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dari kelompok
beragam. Dengan demikian akan tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang
berjalan untuk kebaikan bersama.
B. Analisis
Persoalan
Sempitnya pemahaman terhadap pendidikan
multikultural dan komitmen yang rendah dari masyarakat sekolah menjadikan praksis penyelenggaraan pendidikan multikultural belum
sepenuhnya dapat dilaksanakan di sekolah. Walaupun secara yuridis dimuat pada prinsip
penyelenggaraan pendidikan nasional yang diuraikan dalam Undang – Undang
Republik Indonesia no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
(sisdiknas). Dalam pasal 4 no 1 dinyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Pemahaman selama ini pendidikan multikultural
adalah pembelajaran tentang kebudayaan yang hanya diajarkan oleh guru bidang
studi tertentu dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Misal seni dan
budaya, pendidikan kewarganegaraan, atau ilmu sosial. Padahal pendidikan
multikultural bukan pendidikan monolitik yang terkait dengan satu bidang. Sependapat
dengan James A. Banks (2002 : 14), bahwa pendidikan multikultural adalah cara
memandang realitas dan cara berpikir, dan bukan hanya konten tentang beragam
kelompok etnis, ras, dan budaya.
Demikian pula prinsip fleksibilitas
pendidikan multikultural yang disarankan oleh Gay (2002) sebagaimana dikutip
Zamroni (2011 : 150), dikatakan bahwa amat keliru kalau melaksanakan pendidikan
multikultural harus dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah atau monolitik. Sebaliknya,
dia mengusulkan agar pendidikan multikultural diperlakukan sebagai pendekatan
untuk memajukan pendidikan secara utuh dan menyeluruh. Pendidikan multikultural
juga dapat diberlakukan sebagai alat bantu untuk menjadikan warga masyarakat
lebih memiliki toleran, bersifat inklusif, dan memiliki jiwa kesetaraan dalam
hidup bermasyarakat, serta senantiasa berpendirian.
Komitmen rendah dari sekolah termasuk
guru juga menghambat pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan multikultural.
Misalnya integrasi
pendekatan pendidikan multikultural dalam kurikulum nasional seperti adanya
muatan lokal yang harus diselenggarakan disekolah dengan mempertimbangkan
keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik pada pengembangan kurikulum
tingkat satuan pendidikan yang tidak difungsikan. Banyak sekolah yang mengisi
kurikulum muatan lokalnya dengan bahasa inggris, komputer ataupun mengadopsi
tanpa melakukan imitasi muatan lokal sekolah lain. Selain itu masih banyaknya
pembelajaran monoton konvensional yang diterapkan guru dalam pembelajaran. Sedangkan
yang dihadapi guru adalah anak didik dengan latar belakang yang beragam. Dengan
latar belakang ini sebaiknya dilakukan pembelajaran demokratis. Sesuai dengan Donna Styles yang mengatakan untuk kelas
yang beragam latar belakang budaya siswanya, agaknya, lebih cocok dengan gaya
kepemimpinan guru yang demokratis (2004: 3).
Pembelajaran
demokratis dipilih sebab pembelajaran ini melatih guru dan anak didik untuk
menerima perbedaan, menghargai keragaman, mau bekerja sama tanpa memandang
perbedaan dan berorientasi pada tujuan. Seperti pandangan Zamroni (2011), pendidikan
multikultural dapat dijadikan instrument rekayasa sosial lewat pendidikan
formal, artinya institusi sekolah harus berperan dalam menanamkan kesadaran
hidup dalam masyarakat multikultural dan mengembangkan sikap tenggang rasa dan
toleransi untuk mewujudkan kebutuhan serta kemampuan bekerjasama dengan segala
perbedaan yang ada.
C. Analisis
Operasional Solusi
Pemahaman terhadap makna dan praksis penyelenggaraan
pendidikan multikultural di sekolah dapat dilakukan dengan cara sosialisasi.
Seminar maupun diskusi para ahli yang tidak hanya melibatkan guru atau komponen
sekolah, melainkan juga pemerintah dan masyarakat. Sebagaimana pemikiran
Stephel Hill, Direktur Perwakilan PBB UNESCO untuk kawasan Indonesia, Malaysia,
Filipina, dan Timor Leste (Dalam Mahfud, 2011:217), pendidikan multikultural
dapat dikatakan berhasil bila prosesnya melibatkan semua elemen masyarakat. Hal
ini dikarenakan adanya multidimensi aspek kehidupan yang tercakup dalam
pendidikan multikultural.
Penyediaan literatur yang memadai juga ikut berperan
dalam memberikan pemahaman pendidikan multikultural. Selain terlibatnya media
massa baik tulis maupun elektronik untuk mengkampanyekan pendidikan
multikultural. Sebab sebagai alat
komunikasi, media massa memiliki potensi besar dalam merubah sikap dan perilaku
masyarakat terutama anak-anak yang relatif masih mudah terpengaruh dan
dipengaruhi.
Pengadaan pelatihan guru yang dibahas pada analisis
solusi globalisasi juga untuk membudayakan pembelajaran demokratis heterogen. Sebab
pendekatan demokratis dalam pembelajaran
menuntut guru memiliki kompetensi multikultural. Selain mempersiapkan guru
untuk melaksanakan pembelajaran dengan pengenalan nilai kearifan dan potensi
lokal daerah. Sehingga mutu lulusan tidak hanya bisa bersaing di pasar global
tetapi juga dapat memahami dan mencerdaskan kehidupan masyarakatnya.
Inilah yang kemudian disebut sebagai sekolah internasional berpotensi lokal.
comment 0 komentar
more_vert~~falkhi~~