Bulan lalu, tepatnya Minggu tanggal 09 Agustus
2015, tulisan saya terpampang di kolom puisi Radar Bromo. Rasanya... sueneng
puol. Hehehe. Maklum saja, beberapa kali mengirim tulisan ke media, baru satu
itu yang bisa nongol. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana senangnya hati ini.
Saya mengirim lima judul puisi pada hari senin,
minggu sebelumnya. Setelah itu, saya kembali mengirim empat judul puisi pada
hari kamis. Tidak disangka, satu minggu kemudian empat judul puisi yang dikirim
pada tahap pertama bisa duduk manis di halaman kolom puisi.
Sebenarnya saya sangat yakin kalau puisi saya
dapat dimuat dengan segera. Kenapa? Sebab minggu sebelumnya, kolom puisi di
Radar Bromo kosong. Nah, bisa jadi kekosongan itu karena tidak ada yang
mengirim puisi. Ini saya simpulkan setelah beberapa kali menganalisis kolom
puisi hari minggu di Radar Bromo. Pemikiran ini membuat saya memutuskan
mengirim puisi pertama pada hari senin. Kenapa hari senin? Alasannya, hari
senin adalah awal pekan. Kemungkinan untuk dibaca dan dimuat memiliki peluang
yang lebih besar dibandingkan mengirim pada hari jumat atau sabtu.
Pengiriman kedua, saya layangkan beberapa hari
setelahnya. Pengiriman kedua, ketiga, dan seterusnya penting dilakukan untuk
menjaga komitmen bahwa kita benar-benar menginginkan tulisan dimuat. Selain
itu, untuk menunjukkan bahwa kita tidak putus asa jika tulisan belum dimuat,
dan mau terus berusaha untuk menulis.
Ngomong-ngomong tentang komitmen, bulan ini saya
belum mengirim tulisan ke media. Padahal niat awalnya, setiap bulan akan
mengirim tulisan untuk dimuat di media. Semoga beberapa hari ke depan, saya
dapat segera menunaikan niat tersebut. Aamiin.
Berikut puisi-puisi yang nongkrong cantik di kolom
puisi Radar Bromo pada hari minggu, 09 Agustus 2015.
KANTONG PLASTIK
Sudah berulang aku
katakan, ini bukan tempatku!
Tanah hitam di pojok
kota, dimana pusat pemerintahan
Raja cacing dan presiden
lalat berada
Aku hanya benalu bagi
mereka
Enggan dilahap hingga
berkali-kali tahta berganti rupa
Beban semakin berat
Cahaya pergi berganti
gelap
Aku tertimbun dalam
keacuhan
Kepala-kepala tanpa
telinga
Oh! Sungguh malang
menahan derita berulang masa
Untuk sebuah kematian
Yang kau buat sengsara di
bangsal TPA
Sukapura, 2015
DAUN-DAUN KERING
Masa senja kami adalah
Saat tubuh melayang
menuju sauh
Dermaga yang engkau sebut
dengan tanah
Menjejak bersama angin
yang terkadang
Membiarkan urat nadi
menggeram pada ketinggian
Kepada tanah kami
berpesan
Beri ruang tamu-tamu
pemakan
Untuk mengembalikan kami
pada sang akar
Dimana kami bergelung
manja hingga masa tunas datang,
dan usia kembali dimulai
Sukapura, 2015
MERUJUK KENANGAN
Ada wajahmu. Tersenyum
manis. Menempel
Di kulit pipiku. Malam
ini
Sebatang mawar merah.
Tergeletak
Cantik. Di atas ranjangku.
Malam ini
Seekor cicak tiba-tiba
berada di atas kepalaku
Malam ini. Mengusir
wajahmu dalam sekuntum mawar
Menyisakan detak jantung
yang memburu detik jarum jam
dari kumpulan kenangan di
ruang lalu. Malam ini
Sukapura, 2015
WAJAH
Kau yang bersembunyi
dibalik mataku. Pergilah
Diam-diam lewat teralis
malam
Tepat ketika bulan
bercumbu dengan awan
Pelan-pelan. Jangan
sampai kelopakku melongok
Mencari telinga untuk
mengejar
Suara langkah kakimu yang
menjejak angin. Pergilah
Kau!
Sukapura, 2015
Berniat mengirimkan tulisan di Radar Bromo? Langsung saja tulis email dan kirim ke ruangpublik_radarbromo@yahoo.com. Radar bromo minggu menyediakan kolom cerpen, puisi, dan opini dengan panjang maksimal tulisan 1000 kata. Jangan lupa sertakan foto diri, alamat lengkap, nomor telepon, nomor rekening, dan nama bank rekeningnya.
comment 0 komentar
more_vert~~falkhi~~