"I'll always remember the things you have taught me and how much you love me"- anonymous
Minggu, 24 september 2017.
Pukul 05.00 WIB, saya bertemu papa di dapur. Ia duduk santai
di meja makan. Saat melihat saya datang, papa meminta untuk dbuatkan segelas air
hangat. Hm... Tumben, biasanya papa yang membuatkan air hangat. Saya merasa
heran, tapi tidak sempat berpikir panjang. Hanya segera menyanggupi
permintaannya. Setelah memberikan segelas air hangat, saya bergegas menuju
kamar untuk bersiap-siap menghadiri walimatul ‘ursy adik sepupu.
Pukul 06.00 WIB, mama meminta saya untuk segera mandi. Sebab,
selama 1 jam saya masih setia membereskan barang-barang di dalam kamar. Maklum,
kamar sudah lama tak ditempati hingga membutuhkan sedikit sentuhan agar terasa
sedap dipandang. Saya mengintip ke halaman, terlihat papa masih menyapu
daun-daun mangga yang jatuh terbawa angin. Saya katakan pada mama, “papa masih
menyapu, saya mandi nanti saja setelah papa selesai”. “Kita berangkat duluan,
papa menyusul karena harus menemani tetangga yang menjadi MC,” jawab mama.
Mendengar jawaban mama, saya mempercepat bongkar-muat barang
di kamar dan berlari ke kamar mandi. Setelah siap untuk berangkat, saya menuju
dapur untuk mengeluarkan sepeda. Ternyata, papa sudah menunggu di dapur dan menanyakan
sepeda motor mana yang akan saya gunakan. “Punya saya sendiri,” saya menjawab
seraya menunjukkan kontak pada papa. Rupanya papa hanya memberi jalan untuk
mengambil sepeda motor tanpa berniat mengambil kontak dari tangan. Huh,
lagi-lagi tidak biasanya, saya merengut dalam hati. Biasanya, papa akan
mengambil kontak dan membantu mengeluarkan sepeda, tapi kali ini tidak. Papa
hanya melihat dan membiarkan saya mengeluarkan sepeda sendiri.
Sebelum saya dan mama berangkat, papa membantu mama untuk
merapikan rok yang dipakainya agar tidak mengganggu roda sepeda saat dikendarai.
Beberapa menit kemudian, saya dan mama pamit berangkat. Meninggalkan papa yang
kembali mengambil sapu dan melanjutkan membersihkan halaman rumah.
Sesampainya di rumah adik, saya dan mama langsung beraksi membantu
persiapan konsumsi yang akan diberikan pada tamu. Hingga ditengah-tengah
kesibukan, mbak Mala, putri kakak papa datang. Ia menanyakan keberadaan papa. Saya
katakan, papa datang menjelang acara, karena ia menemani tetangga yang menjadi
MC.
“Saya disuruh tanya sama Adib (adik sepupukku yang lain),
karena pakde belum juga datang katanya,” ujar mbak Mala.
“Tumben tuh adik tanya,” tanya saya pada mbak Mala. Mbak Mala
hanya tertawa, “Adib bingung, khawatir pakde gak datang katanya,” lanjut mbak Mala
kemudian.
“Gak mungkinlah, ini kan acara penting.” Sanggah saya pada
mbak Mala. Mbak Mala pun pergi, kembali membantu persiapan di dapur.
Pukul 09.00 WIB.
Saya mendengar suara kalau papa sudah datang. Saya beringsut
keluar dari ruang keluarga dan melihat papa dikejauhan, datang berdua dengan
tetangga yang menjadi MC. Papa berjalan searah dengan sinar matahari
dibelakangnya. Akibatnya, saya melihat papa seperti bersinar dengan hiasan senyum
lebarnya. Cerah sekali wajah papa, saya bergumam dalam hati, lalu kembali masuk
ke dalam rumah.
Beberapa menit kemudian, saya keluar kembali untuk memberi
salam pada pakdhe yang baru datang. Papa duduk di kursi sebelah pakdhe. Tapi, saya
tidak menyapanya. Saya hanya memberi salam pada pakdhe lalu kembali masuk
rumah.
Pukul 09.30 WIB.
Rombongan tamu datang, termasuk mempelai pengantin. Saya
turut menyambut, sekaligus mengabadikan acara karena salah seorang budhe tidak bisa
hadir dan meminta saya untuk mengirim foto-foto saat acara berlangsung. Maka,
jadilah saya fotografer dadakan saat itu.
Setelah beramah tamah dengan rombongan mempelai, acara walimatul
‘ursy pun di mulai. Acara diawali dengan
hadrah, kemudian sambutan dari keluarga yang akan diwakili oleh papa, sebagai
pengganti om yang sudah wafat. Selain memberikan sambutan, papa juga didapuk
sebagai pembicara dalam acara walimatul ‘ursy ini.
Selama ini papa memang seringkali mengisi acara walimatul ‘ursy
dan merasa senang dengan kegiatannya tersebut. Mungkin, karena sebelumnya,
cita-cita papa adalah menjadi penghulu. Sebelum kemudian mengikuti tes CPNS
guru dan diterima. Maka jadilah papa seorang guru. Tetapi, kesenangannya dengan
label penghulu membuat papa sering diminta untuk mengisi acara walimatul ‘ursy.
Beberapa menit setelah sambutan hadrah, tibalah giliran papa
untuk berbicara. Saya tak sempat mendengar apapun. Sebab posisi ada di ruang
keluarga yang agak jauh dengan halaman sebagai tempat acara. Selain itu, saya sibuk
memilih foto untuk dikirimkan pada budhe. Sebelum akhirnya kehebohan itu
terjadi.
Acara tiba-tiba terhenti. Semua orang berteriak panik. “Pakdhenya
pingsan, pakdhenya pingsan.” Begitu suara-suara yang sampai di telinga. Mama yang
sedang duduk di ruang keluarga, langsung dibawa keluar. Saya ikut berdiri tapi
dengan kondisi kebingungan melihat semua orang bergegas ke halaman.
Pintu rumah yang hanya berukuran satu meter sesak dengan
orang. Saya tak bisa keluar. Hanya berdiri. Sebelum akhirnya, kerumunan orang-orang
menghilang dan duduk seperti semula. Baru saya bisa melihat kondisi halaman.
Terlihat rombongan para lelaki menggotong papa di ujung depan jauh. Entah, mau
dibawa kemana.
Saat itu, pikiran saya kosong. Hanya berpikir, papa tak
biasanya pingsan. Papa tak biasanya hilang kendali. Apalagi hanya dengan
alasan, teringat almarhum om seperti yang diduga para tamu. Ah, tidak. Papa itu
seorang yang kuat, saat nenek dan adik meninggal, papa tetap bisa tegar.
Apalagi hanya dengan kondisi mengingat kenangan. Ya, papa tak seperti adiknya
yang memang seringkali pingsan ketika mengingat saudara-saudaranya yang sudah
meninggal.
Ketika jeda acara tersebut, saya tidak bisa berpikir jernih,
hanya bisa merayu tante untuk tidak khawatir dan tetap melanjutkan acara. Saya
sempatkan bertanya pada orang yang ada disekitar acara, apakah papa memakan
sesuatu. Sebab papa memiliki kadar darah tinggi, sehingga bisa membuatnya
pingsan. Tetapi jawaban beberapa orang, papa tidak makan atau minum apapun
sejak tiba dari rumah. Lalu, apa yang bisa membuatnya pingsan?
Sambil berpikir, saya hanya bisa menatap jauh ke arah
rombongan bapak-bapak yang mulai kembali ke tempat acara. Mereka mengatakan papa
di bawa ke rumah sakit. Lagi-lagi saya berpikir, separah apa papa hingga harus
membawanya ke rumah sakit. Bukankah untuk pingsan, bisa diobati dengan
mengoleskan minyak saja. Saya tetap berpikir hingga tiba pada kesimpulan apakah
papa terkena serangan jantung? Karena sebulan terakhir papa sering mengeluh nyeri
di dada saat bekerja terlalu berat. Jika benar serangan jantung maka
satu-satunya jawaban dari pertanyaan mengapa papa pingsan adalah papa tidak
pingsan. Papa sudah pergi.
Pikiran pun terbagi menjadi dua, satu mengatakan papa pergi.
Satu memastikan bahwa itu hanya pikiran negatif yang menghuni otak belaka.
Hingga tiba-tiba ada yang meminta saya untuk segera ke rumah sakit. Menyusul papa.
Saya yang hanya mondar mandir tiba-tiba sadar dan beranjak mengambil sandal
untuk ke rumah sakit. Namun dengan siapa saya ke rumah sakit? Saat bingung
kembali datang, tiba-tiba mbak Mala muncul dan meminta naik ke boncengannya.
Selama perjalanan saya dan mbak Mala bercerita tentang
kejadian pingsannya papa. Walaupun sebenarnya, pikiran saya terbagi menjadi dua
kubu. Satu kubu, meminta untuk tidak percaya pada pikiran negatif. Sedang kubu
yang lain memastikan bahwa papa sudah tiada. Ya, dengan kondisi papa yang tidak
pernah pingsan dan mengeluh nyeri dada, maka robohnya papa di saat mengisi
acara cenderung pada serangan gagal jantung. Terlebih lagi, bahwa kegiatan itu
adalah hal yang sangat disenangi papa. Saya pernah mendengar bahwa seseorang
akan dipanggil menghadap Allah pada kondisi yang paling ia senangi. Maka,
simpulan kubu pikiran yang menyatakan papa tiada pasti dinyatakan valid.
Setelah sampai di rumah sakit, saya langsung masuk pintu
UGD. Sayangnya, saya yang tidak tahu ruang UGD harus berputar-putar sebelum akhirnya
bertanya pada petugas. Sesampainya di UGD, papa sudah berada di salah satu ranjang
pasien. Setelah saya mendekat, tiba-tiba perawat menutup semua tirai di
sekeliling ranjang tersebut. Dia meminta semua orang keluar dan menyisakan mama
serta kakak pemilik mobil yang membawa papa. Lagi-lagi kubu pikiran yang
menyatakan papa tiada semakin kuat bergejolak. Apalagi saya sempat melihat
beberapa alat pacu jantung ada di dekat ranjang papa dan dipegang oleh beberapa
perawat yang mengelilingi papa.
Saya melirik arloji, pukul 10.05 WIB. Berkali-kali saya
menarik nafas, untuk menenangkan pikiran sambil berdiri terpaku di depan tirai
yang menutupi ruang pemeriksaan papa. Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Tiba-tiba muncul pemikiran, apa yang dilakukan papa ketika nenek meninggal. Saya
pun mengingat bahwa saat itu papa setia di samping nenek untuk mengaji.
Khusyuk. Berbekal ingatan tersebut, saya
berkeinginan untuk melakukan hal yang sama.
Saya mencari kamar mandi untuk berwudhu. Petugas meminta ke
arah belakang rumah sakit. Sepanjang perjalanan, saya yakinkan diri untuk
mengatakan bahwa jika ini yang terbaik, biarkan papa pergi dengan tenang. Pergi
dengan damai. Walaupun dalam hati saya masih menyimpan dua keinginan yang
mungkin tak akan pernah bisa lagi diwujudkan di depan papa.
Setelah menemukan kamar mandi ternyata kamar mandi sedang
dibersihkan. Saya menunggu beberapa lama sebelum akhirnya petugas meminta untuk
pergi ke kamar mandi lain di ujung rumah sakit. Saya mengikuti sarannya, berjalan
ke ujung rumah sakit dan menemukan pintu kamar mandi yang sedang tertutup. Saya
bertanya pada salah satu orang, katanya ada orang yang menggunakan kamar mandi.
Saya pun antri di depannya.
Detik demi detik berlalu. Dalam kalut, pintu kamar mandi tak
kunjung terbuka. Dalam penantian, senantiasa saya berdoa dan memastikan hati
untuk tidak kecewa atas semua keputusan sang pencipta. Tak sabar menunggu, saya
dekati kamar mandi dan mendorong pintunya, ternyata tidak orang didalamnya. Saya
tertawa karena merasa tertipu dengan pintu yang tertutup.
Keluar dari kamar mandi, terdengar suara mbak Mala memanggil-manggil.
Saya menemuinya dan bertanya ada apa. Ia menjawab hanya khawatir saya tak kunjung kembali dari kamar mandi. Saya
tersenyum dan bercerita bahwa saya tertipu pintu yang tidak kunjung terbuka.
Namun, dalam hati saya menyangka. Tak mungkin tidak apa-apa. Hingga saya
dijemput dan diminta cepat ke tempat pemeriksaan. Mungkinkah papa sudah tiada?
Jika ini yang terjadi, maka saya akan disambut oleh airmata mama. Dalam dugaan
sementara ini saya tetap berdoa. Memastikan bahwa itu hanya khayal yang tidak
mewujud nyata.
Sesampai di ruang depan, terlihat semua saudara yang ikut
mengantar ke rumah sakit berdiri mengelilingi mama. Saat saya tiba, mama
merangkul dengan derai air mata. Papa sudah tiada, katanya. Ah, ternyata doa untuk
bisa menemui papa dalam kondisi bugar tidak bisa terwujud. Saya pun merangkul mama
dan menguatkannya. Ya, menguatkan mama karena saat ini hanya tersisa mama yang saya
punya.
Kepergian papa yang tiba-tiba membuat kakak yang membawa
papa ke rumah sakit tidak percaya. Ia kembali meminta perawat untuk memeriksa.
Permintaan diterima. Papa kembali dipasang selang dan alat-alat pemeriksa
jantung. Kami juga mulai memberi kabar berita kepada sanak saudara, mengatakan
bahwa papa sedang sakit.
Beberapa menit kemudian, perawat membuka semua selang dan
meminta kami untuk bersabar. Perawat mengatakan sebenarnya papa sudah tiada
sejak sebelum tiba di rumah sakit. Mungkin malaikat Izrail datang ketika papa
sedang membaca doa wasilah terakhir sebelum memberikan tausiyah. Ketika secara
tiba-tiba mikrofon terlepas dari tangannya dan tubuhnya terhuyung ke bagian
belakang sofa.
Jika benar prasangka itu, maka papa pergi dalam kegiatan
yang sangat disukainya, yakni mengisi kegiatan walimatul ‘ursy. Papa pergi
dalam kondisi yang begitu disenangi, yakni saat membaca doa. Maka, satu kebahagiaan
yang masih bisa saya ucapkan saat itu adalah kepergian papa tidak memberikan
kesulitan kepada kami, keluarganya. Papa pergi saat semua keluarga jauh datang
untuk mengikuti walimatul ‘ursy. Papa pergi dalam baktinya kepada keluarga. Papa
pergi, semoga dalam keadaan husnul khotimah.
Hari minggu, 24 September 2017 bersamaan dengan kepulangan
para jamaah haji, papa berpulang. Dengan iringan mendung yang tiba-tiba datang
memuntahkan isinya ke bumi, papa dimakamkan. Berselimut air hujan yang merangkul
tanah diam-diam, papa kembali ke haribaan. Selamat jalan, papa. Semoga engkau
damai dan mendapat terbaik di sisi Allah.
Teriring maaf dari putrimu yang masih saja belum bisa
mewujudkan keinginan terbesarmu.
I love you, dad.
comment 0 komentar
more_vert~~falkhi~~