Pernah berkunjung ke gunung Bromo? Jika iya, pasti familiar
dong dengan gunung Batok. Gunung yang menjulang hingga 2440 mdpl ini sering
menjadi background foto pengunjung Bromo. Bentuk gunung Batok yang menyerupai tempurung
terbalik dengan hiasan garis-garis beralur dari dasar hingga puncak membuat pesona
keindahannya tak kalah dengan gunung Bromo. Beberapa pengunjung Bromo pun rela
berjuang untuk mencapai puncak gunung Batok. Salah satunya adalah saya sendiri,
hehehe.
Sebenarnya, sejak lama saya penasaran dengan gunung Batok. Gunung
yang dalam pandangan saya, bentuknya mirip kue apem. Menjulang setengah
lingkaran dengan puncak mendatar dan badannya dihiasi oleh garis-garis lengkung
yang timbul tenggelam. Saya penasaran, ada apakah gerangan di puncak Batok?
Mengingat puncak batok yang datar dan permukaan badan gunung hanya berhias
ilalang.
Puncak batok sangat lebar dengan permukaan gundul dan bergelombang. Terdapat ceruk yang cukup dalam di bagian tengah. Setelah melaksanakan prosesi pelantikan, kami melewati ceruk tersebut untuk bisa berada pada puncak Batok yang menghadap kawah Bromo. Bromo terlihat kecil jika dipandang dari puncak Batok. Bahkan tangga menjulang yang menuju kawah hanya tampak seperti hiasan garis-garis.
Untunglah penasaran terhadap Batok tidak berlangsung lama. Bulan
lalu, saya berkesempatan untuk mencicipi puncaknya. Kesempatan itu datang
ketika pangkalan pramuka di sekolah mengadakan trip ke gunung batok dalam
rangka pelantikan Laksana. Tentu, saya tak menyia-nyiakan kesempatan ini dan
langsung mendaftar ikut serta dalam pendakian ke puncak gunung Batok.
Pendakian gunung Batok diikuti oleh 20 orang siswa kelas XII
yang akan dilantik menjadi pramuka Laksana dan 6 pendamping. Tidak ada pendaki
profesional dalam rombongan kami, hanya beberapa guru dan siswa yang terbiasa
melakukan perjalanan jauh. Karena itu, saya merasa aman sebab semuanya adalah
pendaki pemula. Saya khawatir jika rombongan yang diikuti adalah pendaki
profesional sebab saya belum pernah mendaki gunung, hehehe.
Perjalanan ke gunung batok di mulai dari jumat sore. Pos
pertama adalah sekolah, pos kedua di SDN Ngadisari 2 dan pos ketiga puncak Batok.
Perjalanan dari pos pertama menuju pos dua terbagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah kelompok pejalan kaki dan kelompok kedua adalah
kelompok pengendara alias menggunakan sepeda motor ke pos SDN Ngadisari 2. Coba
tebak, saya ikut rombongan mana? Hahaha.
Pagi keesokan harinya, kami mulai bersiap-siap untuk menuju
puncak gunung batok. Setelah sarapan dan mengucapkan terima kasih karena telah
diberikan tumpangan menginap gratis di SDN 2 Ngadisari, kami berangkat menuju gunung
Batok. Sebelum mendaki, kami mampir di kantor PVMBG (Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi) Cemoro Lawang untuk berpamitan. Kami diterima dengan
baik oleh petugas dan diberikan rambu-rambu serta petunjuk untuk mendaki gunung
Batok. Tidak hanya itu, petugas mengijinkan kami untuk menitipkan kendaraan
bermotor dan menggunakan gedung museum untuk istirahat ketika kembali dari
gunung Batok.
Tepat pukul 07.15 WIB kami memulai perjalanan ke puncak
gunung Batok dengan berjalan kaki dari gedung PVMBG Cemoro Lawang. Jalanan aspal
yang menurun dari pos Cemoro Lawang menuju lautan pasir terlihat sepi. Maklum,
waktu masih terlalu pagi bagi para pengunjung untuk meramaikan wisata gunung
Bromo.
Permukaan pasir di Kaldera Bromo mengeras karena hujan yang
terus-menerus. Kami jadi lebih mudah berjalan karena tidak terperosok ke dalam
kubangan pasir. Beberapa kali kami berpapasan dengan jip dan ojeg para
pengunjung Bromo. Agar debu dari kendaraan tidak mengganggu, kami memilih
berjalan dengan jalur alternatif melalui permukaan pasir yang ditumbuhi
ilalang. Biasanya jalur alternatif membuat perjalanan lebih cepat, tapi
berhubung saya dan para pendamping yang lain sudah bukan remaja lagi membuat perjalanan
tetap berlangsung lama. Bahkan beberapa kali kami harus memanggil para siswa
agar tidak berjalan terlalu cepat dan meninggalkan para pendamping di belakang,
hehehe.
Sekitar pukul 08.00 WIB kami tiba di ponten Bromo. Kami
istirahat sejenak sebelum memulai perjalanan mendaki gunung Batok. Gunung Batok
memiliki beberapa jalur trekking dan kami memilih jalur paling aman yang sering
digunakan para pendaki. Jalur tersebut ditandai dengan gerumbulan pohon cemara
di bagian kaki gunung Batok.
Jalur awal pendakian berupa tanah landai dengan setapak yang
diapit ilalang tinggi. Setelah melewati pura, perjalanan mulai menanjak. Belum
curam, mungkin kemiringan masih dikisaran 30 derajat. Kanan kiri setapak mulai
dihiasi jurang berdebu yang terjal.
Ketika tiba di rimbunan pohon cemara, kami bergantian istirahat.
Bergantian karena tempat istirahat yang digunakan hanya bisa dibuat duduk satu
hingga dua orang. Setelah melewati rimbunan cemara, petualangan yang sebenarnya
pun dimulai.
Jalur pendakian berubah menjadi setapak terjal dengan bagian
tengahnya berceruk. Seperti halnya gunung Bromo, tanah di gunung Batok kering
berdebu. Membuat ceruk-ceruk yang dilewati menerbangkan debu jika dilewati.
Jika tidak melewati ceruk, kami harus melewati pinggiran ceruk yang hanya cukup
untuk menyanggah satu telapak kaki. Itu pun harus berhati-hati karena bisa saja
tanah yang dipijak tidak kokoh dan menyebabkan kaki terperosok ke dalam jurang.
Jika dilihat dari dasar, punggung gunung Batok laksana dihiasi
ulir yang timbul tenggelam. Tidak terlihat ada jalan setapak. Namun ternyata,
jalur trekking pendakian berada di ulir yang timbul tersebut. Jadi sudah dapat
dipastikan jika kanan kiri ulir yang timbul adalah jurang terjal.
Awalnya, saya mengira ada tanah-tanah landai untuk
istirahat. Tapi ternyata perkiraan tersebut salah. Semakin ke atas, tanjakan
semakin curam. Kemiringan tanah di atas 60 derajat. Artinya, tidak ada tempat
yang layak untuk istirahat. Pfiuh!
Ngos-ngosan? Jangan ditanya. Saya selalu berhenti setelah
berjalan 1 hingga 2 meter. Eh, bukan berjalan. Tapi mendaki. Beberapa tempat,
memiliki bekas pijakan kaki yang tingginya di atas lutut. Membuat saya harus
merangkak naik dengan berpegangan pada ilalang kering. Berpegangannya perlu
hati-hati, sebab beberapa ilalang terlihat rapuh dan sangat mudah ditarik. Sangat
berbahaya sebagai pegangan.
Usia yang tidak muda lagi, eh.. hehehe membuat saya memilih berjalan
di paling akhir. Karena jika mengikuti kehendak para siswa, saya bisa pingsan
di jalan. Sungguh! Jarak saya dan orang pertama rombongan sangat jauh. Tapi saya
tak peduli. Tujuan saya adalah sampai di puncak, bahkan jika itu yang terakhir.
Beruntung, saya didampingi oleh salah satu alumni yang
bertugas sebagai sapu ranjau. Dia tidak keberatan ketika saya bolak balik berhenti
dan duduk ndoprok sambil mengistirahatkan kaki. Oh ya, biasanya kaki
diistirahtakan dengan cara berselonjor. Tapi jangan harap bisa dilakukan di
jalur trekking gunung Batok. Lagi-lagi tidak ada tempat landai. Jika ingin
istirahat, lakukan dengan berdiri atau duduk dengan menjuntaikan kaki layaknya
duduk di kursi. Tapi ingat, jika ingin istirahat lebih lama jangan berada di depan
atau tengah rombongan. Sebab, jalur pendakian hanya bisa dilewati oleh satu
orang. Jadi, jika kita istirahat, rombongan di belakang kita juga harus
istirahat. Kecuali pendaki profesional yang bisa lewat jalur curam berdebu di
samping setapak.
Saat di tengah perjalanan, saya hampir menyerah. Kaki berkali-kali
mengirimkan sinyal merah, tanda dirinya tak kuat menopang tubuh. Namun, seruan dari
arah puncak memberikan kekuatan. Seruan semangat dari para anggota pramuka agar
para pendamping bisa tiba di puncak. Sebab, pendakian ini bukan hanya untuk
melihat keindahan melainkan juga untuk pelantikan. Bukan hal yang lucu jika
pelantikan batal hanya karena pendamping gagal mendaki ke tempat pelantikan,
hehehe.
Saya kemudian memutuskan untuk terus mendaki. Pelan-pelan. Hingga
akhirnya tidak terdengar lagi teriakan. Eh, kemana para siswa? Setelah
memandang sekeliling ternyata saya sudah sampai di bibir puncak. Terlihat para
siswa di ujung jauh, rupanya mereka langsung berkeliling puncak Batok. Saya?
Jangan tanya. Langsung mencari tempat untuk beristirahat.
Saya memilih duduk di semak yang bergerumbul untuk melepaskan
penat. Sebab tidak ada pohon sebagai tempat berteduh di puncak Batok. Permukaan
tanahnya kering kerontang bahkan beberapa berlapis tebal sehingga terlihat
dilapisi aspal. Duh, siapa juga yang mau mengaspal puncak batok, hahaha.
Istirahat dulu |
Persiapan pelantikan |
Puncak batok sangat lebar dengan permukaan gundul dan bergelombang. Terdapat ceruk yang cukup dalam di bagian tengah. Setelah melaksanakan prosesi pelantikan, kami melewati ceruk tersebut untuk bisa berada pada puncak Batok yang menghadap kawah Bromo. Bromo terlihat kecil jika dipandang dari puncak Batok. Bahkan tangga menjulang yang menuju kawah hanya tampak seperti hiasan garis-garis.
Sisi Batok yang menghadap kawah Bromo ini sangat cocok
sebagai tempat selfie. Kita bisa bergaya di depan kawah yang mengepulkan asap
dan deretan pegunungan Bromo sambil memegang kepingan plat penanda ketinggian
puncak Batok. Ceklek! Foto yang indah pun terpampang di layar handphone.
Setelah puas bergaya di depan kamera, kami bergegas untuk
segera turun melalui sisi Batok yang menghadap kawah Bromo. Kami pulang menggunakan
jalur yang berbeda. Saya berharap jalur ini lebih mudah dibandingkan jalur yang
digunakan saat mendaki.
Ternyata, jalurnya lebih berbahaya. Ceruk-ceruk berdebu mewarnai sepanjang perjalanan. Berkali-kali saya harus berjalan dengan cara ngesot. Ya, demi keselamatan terpaksa harus ngesot. Sebab jalur yang curam dan berdebu tanpa ada pegangan bisa menyebabkan badan terjerumus jika tak berhati-hati.
Kawah Bromo dari puncak Batok |
Ternyata, jalurnya lebih berbahaya. Ceruk-ceruk berdebu mewarnai sepanjang perjalanan. Berkali-kali saya harus berjalan dengan cara ngesot. Ya, demi keselamatan terpaksa harus ngesot. Sebab jalur yang curam dan berdebu tanpa ada pegangan bisa menyebabkan badan terjerumus jika tak berhati-hati.
Lagi-lagi saya memilih berada di paling akhir bersama petugas
penyapu ranjau. Ini menguntungkan juga merugikan. Untung karena tidak harus
bercepat-cepat untuk turun, sedangkan kerugiannya saya harus antri untuk turun
dan ikhlas menerima kiriman debu dari rombongan yang berada di depan. Beruntung
saya menggunakan masker, sebab beberapa siswa melaporkan wajah dan bibirnya
perih akibat debu.
Jalur menurun yang curam membuat kaki harus sering mengerem agar
badan tidak jatuh. Ingat, kanan kiri jurang berdebu. Jika sedikit saja
tergelincir, maka habislah sudah badan ini dijadikan tumbal Batok. Akibat kerja
rodi ini, kaki mendadak mati suri. Badan terasa melayang saat berada di jalur
yang melandai. Bukan melayang diatas bumi, tapi melayang di atas kaki. Hehehe.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, kami tiba
kembali di pinggir kaldera. Para siswa segera berlari ke area yang dilapisi rumput
dan berbaring mengistirahatkan badan. Tak peduli, beberapa senti di dekatnya
banyak bau tak sedap dari buangan para kuda, hahaha.
Katanya, untuk pendaki profesional pendakian gunung Batok
hanya membutuhkan waktu satu jam dengan perjalanan santai. Itu pendaki
profesional ya, bukan pemula seperti kami. Saya sendiri membutuhkan waktu
sekitar 1,5 jam untuk sampai di puncak. Begitu pun waktu untuk turun dari
puncak ke kaldera. Lebih lama tetapi hal yang paling penting adalah
keselamatan.
Itulah perjalanan pendakian saya ke puncak batok. Betul-betul membutuhkan perjuangan mental tetapi terbayar dengan keindahan di
puncak Batok. Kaldera pasir, ponten, kawah, dan pegunungan yang mengelilingi
Batok begitu nyaman untuk dinikmati dari ketinggian. Warna coklat dan hijau
berpadu dengan langit biru dan awan putih yang berarak tertiup angin. Betul-betul
ciptaan Tuhan yang istimewa. Tertarik mendaki ke puncak Batok? Jangan lupa bawa
masker ya.
Hebat sekali mbak Falkhi akhirnya sampai juga di puncak gunung Batok yg sebenarnya mirip apem ya,... 1.5 jam mendaki pasti capai sekali tu, blum terkena debu dan panas sinar matahari,...saya blum pernah ksana mbak jadi pengin
ReplyDeleteLumayan bikin badan bisa turun 1 kg mas Aris, hehehe
DeleteAyo mas, maen ke Bromo ntar mampir di Batok. Keten lho pemandangan nya...
Wahhh rencananya tahun ini ak bakal mendaki bromo nih, liat cerita di blog ini jadi pengen daki juga, apalagi foto fotonya di bromo jadi bikin ngiler wuehe
ReplyDeleteHayoo segera ke Bromo, hehehe. Ada yang baru di Bromo namanya Seruni point, gak kalah cantik dengan Penanjakan.
DeleteMampir kalau nanti jadi ke Bromo..
wah kak falkhi keren banget bisa mendaki gunung batok.. kalau saya udah ogah2an tu kak naik tangga aja uda males kwkwkkww
ReplyDeleteDemi bisa melihat pelantikan Pramuka, hehhee... Biasanya juga ogah kalau diminta naik gunung.
DeleteApalagi kalau disuruh naik naik ke puncak gunung dah capek duluan ngebayanginnya ya kak..
Deletehehehehhehe
tar ajak2 kapan2 kalau main kak :)
Keren mba. kirain mudah tuh. soale liat foto2 teman kayaknya gak tinggi2 amat. ternyata oh ternyata.
ReplyDeleteAwalnya saya kira juga mudah. Ternyata susahnya minta ampun, hehehe.. hampir aja menyerah beruntung masih diberi motivasi buat berusaha untuk sampai di puncak.
DeletePastinya seneng bgt bisa sampe puncak yah
DeleteRombongan naik motor itu, aduh enak banget. Jadi ingat saat menjadi pembina pramuka, kelakuannya kok ya sama dengan saya saat itu hehehe
ReplyDeleteHahahaha... Jauh banget, sekitar 16 km kalau jalan kaki. Jadinya ya pilih naik motor, hehehe.
DeleteKita senasib ternyata.. hihi
yang peniting bonusnya gede dan utuh :)
DeleteDulu kalau setiap ada acara seperti ini dapat komisi dua ratusan ribu, tapi entah sekarang lebih gede pastinya.
Saya kok gak dapat ya, hehe * kabuur
DeleteHayoo bentuknya mirip batok apa apem nih kak :D ?.
ReplyDeleteKeren banget viewnya ya, struktur garis~garis lekukan buminya bisa kembaran sama gunung Bromo.
Wow, kak Qudsi sampai ngesot saat turun gunung via jalur Bromo ...
Pasti deg-degan sekaligus seru yaaa :)
Bukannya batok mirip kue apem juga ya kak? iya gak sih, jadi gak yakin, hahahaha.
DeleteIya kak, kan awalnya emang satu ibu, gunung Bromo. Karena meletus akhirnya pisah-pisah jadi deretan pegunungan. Makanya strukturnya ada kemiripan, khawatir gak diakui jadi saudara kak, hehehe.
Banyak deg-degannya dibanding serunya. Takut setengah mati, khawatir jadi tumbal gunung Batok. Hiyaa. Ayo kak, coba daki Batok.
Bulan ketiga masih belum ada hal baru, masihkah ada di gunung batok?
ReplyDeleteIya bang, lagi semedi di puncaknya biar dapat wangsit cara cepat jadi blogger, hehe
DeleteUdah 7x ke Bromo dan memang ga pernah bosan-bosannya, apalagi daki Seruni Poin dini hari bikin pengalaman yang sangat berharga setelah nyampe diatas gapura... Indah banget...
ReplyDeleteWow, kayak 7 turunan ya, hehehe. Bromo memang selalu mengesankan buat para pengunjungnya dan tentu saja bikin rindu.
DeleteSaya sendiri sepertinya belum sampai 7 kali kalau ke puncaknya, padahal kerja di sekitar Bromo, hehehe.
tok tok... ni orangnya sibuk UAS yah hehhe
ReplyDeleteHahaha... iya bang, lagi sibuk nulis nilai. Blognya jadi hilang.
DeleteSaya pasti sudah habis nafas di tengah jalan kalau ikutan trekking seperti itu. Tapi pemandangannya keren, ya. Kelihatan jelas kawah Bromonya.
ReplyDeleteIya kak, lelahnya dibayar dengan pemandangan yang keren dari puncak Batok. Padahal sampai atas nafas udah sisa satu dua, hehehe.
DeleteKemiringan 60 derajat? Wahm baru tahu saya. Hebat bisa pada sampai ke sana. (Sendirinya saya belum pernah, cuma lihat/lewat saja) :)
ReplyDeleteAda yang lebih mungkin, karena benar-benar tidak ada yang landai kecuali di puncak. Lain kali mampir ke puncak Batok kak, biar bisa menikmati keindahannya 😁
DeleteKakak keren abizzz ya allah.. cwek naik gunung dah hebat.. aku dah lari aja ngos2an hrhrhr semangat y kak.. kapan2 share lagi yaa pengalamannya
ReplyDeleteItu mah kamuflase mbak. Kenyataannya hampir gak kuat naik, hehehe. Siap, semoga malasnya gak mampir 😀😀
DeleteTerima kasih sudah berbagi cerita mendebarkan tentang pendakian ke puncak Batok Bromo! Sungguh menginspirasi untuk terus menjelajahi keindahan alam Indonesia. Semangat terus dalam eksplorasi! 💪🌿
ReplyDeleteTerima kasih, menjelajah keindahan alam Indonesia tidak akan pernah ada habisnya. Semoga masih bisa terus menjadi penjelajah yang mencintai bumi pertiwi, :)
Delete